Cover buku kumpulan kisah para pionir (SM-3T) |
Oleh: Anggi Perdana*
BANYAK yang bilang, anak-anak di pedalaman, nun jauh dari ibukota sana memiliki jiwa nasionalisme yang rendah. Benarkah? Mungkin, sekali seumur hidup, datanglah ke Tedhing, Kabupaten Ngada, Nuas Tenggara Timur. Wilayah yang kata orang adalah yang paling udik di Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur. Ada benarnya juga. Bila diukur garis lurus, maka dari tempat pengabdianku sampai ke pusat kota berjarak tempuh enam puluh lima kilometer. Butuh lima jam untuk sampai ke pusat kota karena medan yang tidak mulus seperti di kota.
Jangan bayangkan ada banyak kendaraan umum bersliweran. Hanya ada dua oto, yaitu truk yang disulap menjadi angkutan umum serbaguna. Namanya Bentara dan Sumber Harapan. Itu pun tak beroperasi saban jam dan hari. Keduanya 'jalan' di waktu yang hampir bersamaan, yaitu lima hari dalam seminggu. Berangkat ke kota jam empat pagi dan kembali ke Tedhing jam delapan malam.
Bila ketinggalan, siap-siap saja berjalan kaki. Atau yang lebih 'sakit hati' walau sudah datang tepat waktu, oto pun siap berangkat namun karena muatannya terlalu penuh, maka kaki harus mau diajak berjalan tujuh kilometer hanya untuk sampai ke pasar. Jangan bayangkan kondisi jalan yang mulus beraspal. Tanah liat dan berbatu harus jadi kawan, termasuk saat hujan, jalanan menjadi licin dan berlumpur.
Salah satu tulisan di buku para pionir |
Dua kebutuhan pokok, air dan listrik juga belum dirasakan warga. Sumber air terlalu jauh. Hanya bisa didapat di tengah sawah yang berjarak seratus lima puluh meter dari asrama yang aku tempati. Sementara tenaga surya digunakan sebagai penerangan siang hari sekaligus mengisi arus lampu sehen. Di malam harinya, warga memilih untuk menggunakan generator maupun diesel dengan bahan bakar solar dan bensin. Tak sampai larut, hanya pukul 19.00-22.00 WITA. Dan tak setiap rumah punya. Hanya orang-orang tertentu saja.
Lantas dengan kondisi seperti ini, bagaimana dengan generasi pembaharu di sana? Generasi mudanya?
Semangat menuntut ilmu pada anak-anak itu begitu luar biasa. Sama bahkan lebih luar biasa dibanding anak-anak di Jawa. Mereka, anak-anak di SMP Negeri Satu Atap 1 Riung Barat, sekolah penempatanku, dengan senang hati melintas jarak hingga enam kilometer dari rumah. Kaki-kaki kecil mereka wajib melibas perbukitan, jalanan berbatu, melewati sawah, hingga semak belukar.
Sementara itu, di satu tangan mereka, tergenggam satu jeriken air bersih untuk mengisi bak kamar mandi sekolah yang tidak ada saluran air. Setiap hari dan tidak pernah terlambat sampai di sekolah. Namun, tak nampak gurat lelah atau mengeluh di wajah mereka. Jujur saja, melihat semangat mereka yang begitu menggebu, membuatku trenyuh, terharu, sekaligus bangga.
Di tengah keterbatasan fasilitas yang dimiliki sekolah, anak-anak itu tetap berkegiatan. Tanpa perpustakaan, laboratorium, dan ruangan olahraga, siswaku tetap riang belajar. Tak hanya itu, jumlah gurunya pun belum lengkap. Sekolah ini masih kekurangan guru mata pelajaran PPKn, Kesenian, Tikom, BK, dan IPA (Biologi). Namun itu tak menyurutkan niat anak-anak untuk bersekolah.
Apalagi saat upacara bendera. Bagi anak kota, aktivitas Senin pagi ini begitu biasa, malah cenderung membosankan. Berbanding terbalik dengan anak-anak di Tedhing. Mereka begitu bersemangat, bahkan bangga kala ditunjuk menjadi petugas upacara. Pun saat pembacaan teks Pembukaan UUD 1945. Mereka terbiasa mengucapkannya dengan lantang. Hal ini sengaja ditanamkan para guru agar siswa bisa melantangkan naskah tersebut tanpa teks.
Tak perlu muluk-muluk untuk memaknai nasionalisme di pedalaman. Sebab semangat tak hanya dibuktikan melalui ucapan, namun tindakan riil seperti yang dilakukan siswaku di sekolah. Lihat saja, sepuluh menit sebelum jam pelajaran dimulai, mereka selalu melaksanakan apel pagi. Ini adalah bukti sederhana semangat nasionalisme di daerah pedalaman. Aktivitas ini mungkin jarang dijumpai di sekolah kota yang sudah maju. Menurutku, jiwa nasionalisme harus ditanamkan sejak dini sehingga akan menumbuhkan rasa memiliki dan cinta kepada tanah air Indonesia yang takkan pernah luntur sampai kapanpun.
Dusun Tedhing memberiku banyak pelajaran dan pengajaran. Bagaimana aku menemani, membimbing para generasi mudanya menjangkau prestasi. Keterbatasan fasilitas di sekolah, sama sekali tak menjadi hambatan bagi kami. Mereka, anak-anak Tedhing terus berusaha meraih mimpi dan menggapai cita-cita. Mereka hanya butuh sentuhan hangat dari tangan-tangan terampil yang tulus menemani belajar di tengah kegelapan dan segala keterbatasan. (*)
Cuma sering denger cerita tentang Mas Anggi dr Ibu Yul dan Pak Anci 😀
ReplyDeleteSalam e buat gru Anci, ibu yul, de yessa, sama epan...
Delete